Beranda | Artikel
Nusantara Bertaubat
Senin, 22 Juli 2019

# Sharing ide usaha bersama Tim Mubarok Market hafizhahumullah

Bismillah.

Bermula dari perbincangan untuk membuat kaos dakwah, teman-teman panitia kegiatan dakwah al-Mubarok bertukar pikiran seputar tema dan konten kaos yang hendak dibuat.

Muncul sebuah ide untuk meluncurkan seri kaos dakwah dengan tema ‘Nusantara Bertaubat’. Mengapa perlu mengusung kata ‘Nusantara’? Ini adalah pertanyaan menggelitik yang mungkin saja terlontar dari para pembaca. Alasannya sederhana, sebab kita hidup di Indonesia; sebuah negara yang dibanggakan dengan segala kekayaan budaya Nusantara.

Tadi siang, sepulang dari arah Kampus UGM penulis melewati perempatan tugu Jogja yang begitu terkenal itu. Sepintas terlihat di salah satu sisi tepi jalan ada tulisan menarik yang berbunyi ‘Selamatkan Budaya Indonesia’. Dalam benak muncul tanda tanya; budaya mana maksudnya gerangan yang diangap ‘terancam keselamatannya’? Sehingga muncul slogan semacam itu. Oiya, mungkin maksudnya adalah budaya-budaya yang dianggap kurang sesuai dengan ajaran Islam; yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai ciri khas dan jati diri bangsa ini. Apa yang sering disebut dengan jargon memelihara kearifan lokal dan melestarikan budaya warisan leluhur.

***

Kita tidak ingin terjebak oleh pemaknaan istilah budaya atau apa yang disebut dengan istilah kearifan lokal dan warisan leluhur. Kita perlu lebih bijaksana dalam menilai segala sesuatu dari substansinya, bukan dari nama dan sebutan-sebutannya. Sebagaimana kaidah yang sering diungkapkan para ulama; bahwa yang dijadikan sebagai ibrah/pedoman adalah hakikat dari sesuatu, bukan pada nama-namanya. Karena perbedaan nama tidak merubah hakikat sesuatu yang sama.

Kita pun tidak mengingkari begitu banyak nilai positif dari sopan santun dan perilaku masyarakat negeri ini yang hal itu pun telah dikenal oleh para ulama dari negara lain. Sebagaimana kita juga tidak menutup mata adanya sisi-sisi kekurangan yang itu pun masih bertebaran di tengah anak bangsa ini. Kita tidak ingin terbutakan oleh fanatisme dan kecintaan kepada bangsa. Tentu kita mencintai negeri ini sebagai tanah air dan tumpah darah kita; yang mana para pejuang kemerdekaan rela mengorbankan jiwa dan raga untuk melepaskan belenggu penjajahan atas negeri ini.

Kita tidak ingin terjebak oleh propaganda sebagian kelompok yang dianggap sebagai kalangan cendekiawan dan budayawan yang berusaha memojokkan usaha keras para ulama untuk menegakkan nilai-nilai ajaran Islam di tengah masyarakat. Mereka ingin menciptakan opini bahwa kembali kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah sebuah kemunduran dan tidak sesuai dengan semangat kekinian. Lebih jahat lagi mereka berupaya untuk menjauhkan umat dari para da’i tauhid dan sunnah dengan menyematkan gelaran-gelaran buruk yang dikemas sedemikian rupa dalam tampilan karya akademis yang terkesan ilmiah.

***

Beberapa tahun silam, kita tentu masih mengenal santernya gerakan Jaringan Islam Liberal atau JIL yang begitu bersemangat menyerukan kebebasan berpikir dan bahkan kebebasan beragama yang pada ujungnya mengajak umat ini untuk mengakui kebenaran semua agama. Sebuah gerakan yang pada akhirnya tercium aroma kekafiran dan kesesatan padanya. Perkara yang dengan mudah bisa dikenali oleh awamnya kaum muslimin. Akan tetapi seolah mereka tidak mau kehilangan akal, walaupun akal mereka mungkin sudah lenyap; kembali para penebar keraguan itu berupaya meracuni pikiran dan aqidah umat Islam dengan berbagai tipuan dan kerancuan.

Kali ini mereka muncul dengan baju dan topeng yang berbeda. Apa yang sering didengungkan oleh sebagian kalangan sebagai jati diri bangsa. Dengan alasan itulah mereka ingin menyingkirkan nilai-nilai dan pemahaman yang dianggap bukan berasal dari bangsa ini. Yang menjadi sasaran utama tidak lain adalah metode beragama kaum muslimin; atau yang biasa kita kenal dengan istilah manhaj. Mereka tidak ingin kaum muslimin di negeri ini mengikuti manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebab dalam ‘keyakinan’ mereka; itu adalah jalan yang sudah usang dan tidak sesuai dengan semangat perkembangan zaman. Muncullah beberapa istilah aneh bin ajaib yang ingin mengaburkan konsep aqidah dan tauhid di dalam Islam.

Saudaraku, semoga Allah merahmatimu… negeri ini membutuhkan penjagaan dan pertolongan dari Allah. Itu sesuatu yang kita yakini bersama. Tidak ada diantara kita yang menghendaki negeri ini menjadi hancur berkeping-keping atau tenggelam dalam kesengsaraan. Kita ingin membersamai bangsa ini untuk mencapai apa yang telah diingatkan oleh para pendiri bangsa ini dengan istilah ‘rahmat Allah’. Atas berkat rahmat Allah… Sebuah kalimat emas yang mencerminkan kesadaran sepenuhnya akan butuhnya kita semua kepada rahmat Allah itu.

Diantara sebab utama untuk menggapai rahmat Allah adalah dengan terus-menerus dan senantiasa bertaubat. Kita tidak boleh meragukan hal itu. Bagaimana tidak demikian? Sedangkan pemimpin para nabi dan rasul, teladan umat ini, dan manusia terbaik di muka bumi yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang disebutkan pertama kali dalam deretan 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia, sebelum tokoh-tokoh yang lainnya- adalah orang yang sangat sering beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Tidak kurang dalam sehari bisa 70 kali bahkan 100 kali, bahkan lebih dari itu… Padahal beliau adalah seorang nabi yang dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah dan mendapatkan jaminan surga. Lantas bagaimana lagi dengan orang seperti kita?

Pantaskah kita merasa diri kita ini suci dari kesalahan, terbebas dari kotoran dosa? Kallaa tsumma kallaa; sekali-kali tidak, sekali-kali tidak! Maka mengajak umat ini untuk bertaubat bukanlah perkara yang aneh atau bahkan dianggap tabu. Jangan-jangan sekarang ini banyak orang sudah tidak lagi mengerti akan hakikat penghambaan kepada Allah yang sejati. Penghambaan yang ditegakkan di atas perendahan diri dan ketundukan; yang ia dibangun di atas kesadaran terhadap aib-aib pada diri dan amal perbuatan yang kita lakukan. Bukankah di dalam sayyidul istighfar kita dibimbing untuk selalu mengakui dosa-dosa yang kita perbuat? Wa abuu’u bi dzanbii; “dan aku mengakui akan segala dosaku…” faghfirlii; “maka ampunilah aku….”

***

Sampai di sini, mungkin sudah mulai banyak yang penasaran seperti apa ya produk kaos yang mau dibuat oleh tim Mubarok Market (MuMar) yang dikoordinir oleh mas Iqbal hafizhahullah ini. Program penerbitan kaos dakwah ini alhamdulillah terjalin dengan dukungan penuh dari Kaos Muslim (KALIM) yang dikembangkan oleh mas Descartes hafizhahullah.

Dalam beberapa waktu ke depan semoga update seputar program penerbitan kaos dakwah ini bisa segera kami infokan. Hanya kepada Allah kami berharap semoga upaya yang kecil ini bisa diterima sebagai amal salih di sisi-Nya…

Penasaran? Sabar ya…

Tunggu kabar terbaru dari tim Mubarok Market (MuMar) selanjutnya…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/nusantara-bertaubat/